JALAN MENUJU KENIKMATAN DUNIA DAN AKHIRAT


Kenikmatan seseorang tergantung kepada kemampuan, cita-cita dan kemuliaan jiwanya. Jiwa manusia yang paling mulia dan cita-cita mereka yang paling tinggi, serta kemampuan mereka yang paling unggul adalah orang yang kenikmatannya didasarkan kepada makrifat kepada Allah, kecintaan dan kerinduannya bertemu dengan-Nya, serta mencintai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Tingkat tertinggi dari kenikmatan adalah kenikmatan marifat terhadap Allah, sedangkan kenikmatan terendah adalah kenikmatan yang di sandarkan kepada kejahatan baik dalam perkataan,perbuatan, maupun dalam aktivitas lainnya. Jika kenikmatan yang pertama diberikan kepada orang yang terbiasa dengan kenikmatan kedua,tentu jiwanya akan dan tidak mau berpaling kepadanya. Begitu juga jika kenikmatan kedua ditunjukkan kepada orang yang terbiasa dengan kenikmatan yang pertama, jiwanya akan menolak dan tidak akan berpaling kepadanya.

Kenikmatan manusia yang paling sempurna adalah orang yang dapat memadukan antara kenikmatan hati, ruh, dan badan. Dia menikmati kenikmatan dunia yang diperbolehkan dalam batas-batas yang tidak mengurangi kenikmatan alam akhirat,serta tidak memutus kenikmatan makrifah, cinta kasih dan cumbu rayu dengan Tuhannya. Inilah orang yang digambarkan Allah dalam firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik? Katakanlah, ‘Semuanya itu disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus untuk mereka saja di hari kiamat’.” (QS: Al-A’raaf:32).

Sedangkan kenikmatan terendah adalah kenikmatan yang terputus dari kenikmatan akhirat. Mereka digambarkan Allah dalam Al-qur’an’

“Dikatakan kepada mereka, ‘kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawi saja dan kamu telah bersenang-senang dengannya’.” (QS: Al-Ahqaaf:20)

Kelompok pertama telah bersenang-senang dalam kenikmatan dan kelompok kedua juga telah bersenang-senang dengan kenikmatan, akan tetapi mereka berdua berbeda dalam cara bersenang-senangnya. Kelompok pertama bersenang-senang dengan kenikmatan dunia sebatas yang diperbolehkan, lalu mereka menggabungkan antara kenikmatan dunia dan akhirat, sedangkan kelompok kedua bersenang-senang berdasarkan seruan hawa nafsu san syahwat, baik yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan. Mereka hanya mementingkan kenikmatan duni dan memutus kenikmatan akhirat. Kenikmatan dunia tidak abadi bagi mereka, sementara mereka tidak dapat menikmati kenikmatan akhirat.

Barangsiapa mencintai kenikmatan abadi dan kehidupan yang baik maka hendaklah ia menjadikan kenikmatan dunia sebagai sarana untuk mencapai kenikmatan akhirat, yaitu dengan cara mengosongkan hatinya hanya untuk Allah dalam ibadah dan berkehendak, lalu menerapkannya dalam bentuk memohon pertolongan. Barangsiapa ingin kenyang dalam menikmati kenikmatan dunia, maka hendaklah ia menjadikan kekurangannya sebagai tambahan atas kenikmatan akhirat, sehingga ia harus meninggalkan sebagian kenikmatan dunia itu untuk dinikmatinya nanti di akhirat.

Alangkah baiknya kenikmatan dunia bagi orang-orang yang menjadikan tujuan hidupnya untuk mencari keridhaan Allah dan kenikmatan akhirat, dan alangkah celakanya bagi orangyang bermaksud dan tujuannya hanya untuk kenikmatan dunia. Jika dia mau meninggalkan kenikmatan dunia niscaya akan mendapat pertolongan Allah dan kenikmatan akhirat. Alangkah celakanya orang yang memutuskan hubungan dengan Allah dan alam akhirat. Barangsiapa memanfaatkan kenikmatan dunia, dengan tidak mengurangi hasrtanya terhadap akhirat, niscaya ia akan menikmati keduanya, jika tidak, maka ia akan merugi pada kedua-duanya.