SEBUAH BANGSA TANPA RASA MALU


Jika sudah tidak ada rasa malu,maka berbuatlah sesukamu.” (al-Hadits)

Di antara ajaran akhlaq Islami yang utama adalah “al-hayaa”, rasa malu. Dalam ajaran Islam, memelihara rasa malu itubbahkan termasuk bagian dari iman. Al-haya-u minal iimaan,malu itu bagian dari iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling besar rasa malunya, begitu besarnya sehingga Abu Sa’id al-khudri Radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dalam sebuah haditsnya: Rasa malu Rasulullah lebih besar dari seorang gadis pingitan di balik cadarnya. Apabila beliau melihat sesuatu yang tidak cocok di hatinya, kamimengenali perasaan malunya pada wajahnya.”

Al-Hayaa menurut pengertian ulama adalah perilaku mulia yang dapat menjauhkan manusia dari perbuatan tercela. Rasa malu itu tidak terbatas kepada manusia, tapi lebih penting lagi adalah malu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Seorang Muslim yang paham bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah tentu tidak akan terjerumus pada perbuatan tercela sebab rasa malu kepada Allah akan mencegahnya. Dalam hal ini, perasaan malu merupakan akhlak mulia, selain merupakan keutamaan dalam agama.

Rasa malu itu terkait erat dengan keimanan, bahkan merupakan cabangnya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

“Iman mempunyai tujuh puluh atau enam puluh cabang. Yang paling utama adalah kalimat Laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Sedangkan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dekadensi moral yang melanda sebagian besar generasi bangsa ini salah satu penyebab utamanya adalah kehilangan rasa malu. Baik malu kepada manusia, apalagi malu kepada Allah. Akibatnya perbuatan maksiat bias dijumpai di mana saja.

Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sanksi hokum merupakan jalan terakhir untuk memberikan hukuman kepada para pelanggar tata kehidupan bermasyarakat. Lembaga moral sangat efektif mencegah tindakan pelanggaran, baik pelanggaran kesusilaan, maupun hukum.

Pendidikan moral dengan cara menanamkan rasa malu kepada anak bangsa menjadi sangat penting di tengah masyarakat yang sudah tak memiliki kepedulian sosiallagi. Kita kembalikan anak-anak untuk belajar budi pekerti dan akhlaqul karimah sebagai bekal kehidupannya.

Apa yang sedang kiat saksikan sekarang dalam pentas kehidupan akibat rasa malu yang tidak lagi terpelihara. Para pejabat tidak sungkan sungkan lagi menilep uang Negara dengan cara-cara tidak halal. Bahkan dengan bangganya mereka memamerkan kekayaan hasil rampasannya di tengah rakyat yang menderita.

Para politisi berbicara semaunya,keras, kasar,dan tidak konsisten. Berbohong, menipu, dan ingkar janji merupakan kebiasaan sehari-hari. Permainan kata-kata menjadi tabiatnya. Mereka tak malu jika harus menjilat ludahnya sendiri. Rakyat menyebut mereka “tak berperasaan”, telah hilang rasa malunya. Malu kepada rakyat,malu kepada Allah.

Ulama, pemimpin agama, dan para muballigh juga dihinggapi penyakit yang sama. Mereka tak malu-malu mengajak orang berbuat baik, berinfaq,menolong si miskin, hidup sederhana, toleran, tenggang rasa, dan seruan kebaikan lainnya, sementara dirinya sendiri bakhil, angkuh, bermewah-mewah, mudah tersinggung, dan tidak menjaga perasaan.

Mereka tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya sama saja dengan menipu yang dikemas dalam bahasa agama. Al-Qur’anul karim menegur secara keras perilaku mereka;

Wahai orang-orang yang beriman,mengapa kalian berbicara tentang apa-apa yang tidak kalian perbuat. Besar dosanya bagi orang-orang yang berbicara dan tidak mengerjakan (apa yang dibicarakannya).” (ash-Shaaf: 1-2)

Remaja putri tak malu-malu lagi menampakkan auratnya. Dengan segala kebanggaannya mereka pamerkan anggota tubuhnyayang semestinya harus ditutupi. Akibatnya mereka tidak malu lagi melakukan hubungan-hubungan yang tidak semestinya dengan kaum lelaki yang tidak dihalalkan syari’ah. Pacaran dan pergaulan bebas dapat dijumpai di mana saja.

Dalam suatu komunitas masyarakat yang bermoral, seorang pemuda sembunyi-sembunyi jika ingin menjumpai kekasihnya. Akan tetapi pada masyarakat yang permisif, jalan-jalan berduaan,nonton bareng, bahkan berangkulan di jalanan umum merupakan pemandangan biasa. Yang demikian terjadi karena hilangnya rasa malu pada masyarakat.

Masalah yang dihadapi sekarang adalah hilangnya rasa malu. Maka untuk mengembalikannya tidak ada cara lain kecuali melalui pendidikan akhlak dan moral. Dalam masalah ini, sekolah bukan satu-satunya institusi yang paling bertanggung jawab, justru keluarga menjadi unit terkecil masyarakat yang seharusnya menjadi bentengnya. Dalam keluarga itu seorang anak dididik untuk memahami rasa malu dan memeliharanya. Faktor orang tua menjadi sangat dominan, terutama dalam transformasi budaya dan adat istiadatnya.

Kita semua menyadari begitu pentingnya keluarga sebagai benteng moral, tapi justru kita kehilangan orientasi. Akibat tuntutan kebutuhan hidup yang terus meningkat, suami isteri sibuk mencari nafkah dan segala aktivitas di luar rumah. Akibatnya,anak-anak menjadi tidak terbimbing dan terawasi. Akhirnya anak-anak kurang mengerti budi pekerti, tak tahu sopan santun, tak mengerti adab dan akhlak.