KARAKTERISTIK PEMIMPIN SEJATI

“Nabi mereka berkata kepada mereka: Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi raja kalian. Mereka menjawab: Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan dari padanya. Sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak. Nabi mereka menjawab: Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahkan ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki_Nya dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah:247)

Manusia adalah makhluk social yang harus berinteraksi dengan sesamanya, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun Negara. Agar interaksi itu berjalan baik,mutlak diperlukan seorang yang lebih berkualitas dan disegani di antara mereka yaitu pemimpin. Keberadaan pemimpin adalah keharusan, terutama dalam kaitannya dengan umat Islam yang saat ini terpuruk secara global dalam berbagai aspek kehidupan.
Allah sebagai Pencipta, Pemilik, dan Pengatur kehidupan tentu saja punya ketentuan tersendiri bagi seorang yang akan memimpin di bumi-Nya. Ketentuan itulah yang digambarkan dalam ayat di atas.

Ayat Politik dan Pemerintahan
Ayat di atas merupakan ayat politik dilihat dari rangkaian peristiwanya. Ayat tersebut mengisahkan kaum Yahudi yang ingin melawan kekuasaan musuh-musuh mereka. Selain itu secara eksplisit ayat ini menyebutkan istilah perang dan pemerintahan atau kekuasaan.
Menurut Sayyid Qutb dalam Fii Zhilalil Quran, ayat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan wewenang Allah,maka Dialah yang berhak menentukan sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian seorang pemimpin sebenarnya terikat dengan Allah.
Al-Mawardi pada abad XI mengatakan bahwa sesungguhnya sebuah kepemimpinan terikat oleh kontrak sosial dan kontrak dengan Allah SWT. Dikatakan kontrak sosial karena secara fungsional kerja, seorang pemimpin terikat dengan kepentingan masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin yang bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri adalah pemimpin yang menghianati rakyatnya.
Dikatakan kontrak dengan Allah SWT, karena pada hakekatnya kepemimpinan adalah amanah dan beban bukan penghormatan. Beratnya amanah itu dapat dilihat dari teguran Nabi Muhammad SAW kepada Abu Dzar Al-Ghifari: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah (tidak bias memangku jabatan itu), padahal jabatan itu adalah amanah.Ia dalah nistadan penyesalan, kecuali yang menerimanya dengan hak (sesuai dengan sistem dan mekanisme yang berlaku serta menunaikan kewajibannya).”
Bahkan Rasulullah SAW tidak memberijabatan kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk mendudukinya. Dengan demikian tanggung jawab horizontal dan amanah vertical dari kepemimpinan itu tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang ditentukan Allah.
Ayat tersebut di atas, merinci sifat-sifat pemimpin yang ditunjukkan Allah untuk memimpin manusia, terutama dalam cakupan pemerintahan;
1. Kejernihan HATI
Karakteristik ini diambil dari kata ishthafahu pada perkataan Nabi Kaum Yahudi: Innallahashthafahu alaikum. Kata yang diterjemahkan dengan telah memilihnya, berasal dari kata Shafa yang berarti jernih dan bersih. Inilah kualitas yang paling mendasar dari seorang pemimpin.
Kualitas ini meliputi seluruh spectrum nilai ketaqwaan dan keimanan. Antara lain kecintaannya kepada Allah begitu hebat, orientasi hidupnya kepada akhirat begitu kuat dan nyata dalam setiap ucapan dan perilakunya; ibadahnya tekun dan khusyu; akhlaknya mulia kepada siapapun; jiwanya bersih dari ambisi duniawi dan selera nafsu; hatinya bebas dari benci; semesta kesadarannya hidup dengan keikhlasan,kesabaran, dan tawakkal; rasa syukur dan taubat begitu menyala-nyala di segenap ruang bathinnya; semangatnya bergelora untuk selalubersikap jujur; sikap ara’ dan qanaah menjadi kesehariannya; apa yang menjadi hasratnya tidak lain hanyalah keinginan untuk berkorban menebar jihad dan amal shalih.
Masalah terbesar dalam kepemimpinan di era modern ini adalah tidak berfungsinya hati nurani di kalangan para pemimpin. Jiwa mereka dibutakan oleh nikmatnya kekuasaan sehingga membuat mereka lalai dan terlena dari tanggung jawab untuk menggunakan kepemimpinannnya dalam membahagiakan rakyat dunia akhirat. Olehnya itu dibutuhkan pemimpin yang berhati bersih untuk mengubah wajah dunia. Dan pemimpin jenis ini hanya lahir dari komunitas orang-orang shalih yang menjadikan tarbiyah dan jihad sebagai manhaj berjamaah.
2. Keluasan Ilmu
Menjadi pemimpin dari sebuah pemerintahan berarti harus mengurus semua aspek kehidupan. Olehnya itu seorang pemimpin harus memiliki keluasan ilmu dengan penguasaan yang memadai. Ia harus mengerti berbagai persoalan kemasyarakatan, harus cerdas baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Ia juga harus menguasai manajemen serta berbagai kecakapan berpolitik lainnya.
Umar bin Khathab ketika menjabat sebagai khalifah pernah mengakui secara terus terang kelebihan Abu Bakar dalam menempatkan anggota. Suatu ketika Abu Bakar memilih Khalid bin Walid untuk menjadi panglima perang, Umar tidak sepakat karena menurutnya Khalid kurang mendalam pemahaman Islamnya. Maka ketika ia menggantikan Abu Bakar, hal pertama yang dilakukannya adalah menurunkan Khalid. Khalid menyerahkan jabatannya dengan sikap sam’na wa atha’na kepada penggantinya yang lebih ‘alim darinya yakni Abu Ubaidah.
Bertahun-tahun kemudian setelah Khalid bin Walid wafat, Umar menyadari bahwa Abu Bakar lebih ahli darinya. Abu Bakar lebih berilmu dalam menempatkan orang sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya. Sekalipun Abu Ubaidah lebih ‘alim dalam urusan keagamaan tetapi ilmu dan pengalaman perang yang dimiliki Khalid tidak ada tandingannya.
3. Kekuatan Fisik
Kekuatan fisik yang dimaksud adalah kesehatan, ketampanan, yang menarik simpati. Tidak salah dan tidak akan pernah salah, Allah menentukan syarat ketiga bagi seorang pemimpin berupa kekuatan fisik, karena tugas-tugas kepemimpinan bukan pekerjaan enteng. Banyak sekali energy yang dibutuhkan untuk mengurus segala macam urusan kemasyarakatan yang amat kompleks. Pemimpin yang sering sakit tidak akan efektik mengelolah amanah kepemimpinan yang diembangnya,sekalipun mungkin pemerintahannya bias jalan.
Ketiga syarat di atas sekaligus merupakan antithesis terhadap pandangan kaum Yahudi yang lebih menonjolkan kekayaan sebagai syarat kepemimpinan. Padahal seoarang pemimpin sejati adalah yang tidak berada dalam lingkaran kekayaan duniawi.
Sikap materialistis kaum Yahudi dalam urusan kepemimpinan ternyata dianut juga oleh kebanyakan masyarakat sekarang. Padahal sejarah mengatakan pandangan ini merupakan biang keladi lahirnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti saling menjilat dan saling fitnah, berebut pengaruh, sogok, money polotic, dan lain-lain.
Dunia merindukan pemimpin yang berjiwa Qurani yakni pemimpin yang pada dirinya berpadu tiga hal mendasar; benar,pintar, dan tegar. Wallahu alam bishawab.