PENDIDIKAN BERWAWASAN KEMANUSIAAN

Persoalan manusia merupakan tema sentral dan titik tolak dalam memaknai pendidikan karena pendidikan pada dasarnya ingin mengantar manusia menuju kemanusiaan sejati. Pendidikan pada dasarnya adalah proses rekayasa atau rancang bangun kepribadian manusia. Maka kedudukan manusia dalam proses pendidikan menjadi sangat sentral. Pernyataan ini mengandung dua implikasi sekaligus.

Pertama, pendidikan perlu mempunyai dasar-dasar pemikiran filosofis yang member kerangka pandang yang holistic tentang manusia.

Kedua, dalam seluruh prosesnya, pendidikan perlu meletakkan manusia sebagai titik tolak sekaligus titik tuju dengan pandangan kemanusiaan yang telah dirumuskan secara filosofis.

Begitu sentralnya kedudukan manusia dalam proses pendidikan, fungsi pendidikan terutama berkepentingan mengarahkan manusia pada tujuan-tujuan tertentu dan menemukan tujuan hidupnya. Dalam konteks ini, kita tidak habis pikir mengapa praktik-praktik kekerasan terhadap manusia (anak didik), masih saja berlangsung dalam dunia pendidikan kita. Apakah kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik karena kesalahan menerapkan ganjaran atau hukuman? Atau ada persoalan yang lebih substansial berkenan dengan pandangan terhadap hakikat manusia? Asumsinya, pandangan yang benar tentang hakikat manusia akan membantu menemukan jalan mengarahkan praktik-praktik pendidikan pada pola pengembangan manusia seutuhnya. Sebaliknya, praktik-praktik pendidikan bakal mengalami kegagalan bila dibangun di atas konsep yang tidak jelas tentang manusia.

Untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini, berikut akan disajikan beberapa pandangan mazhab pendidikan tentang manusia dan akibat yang ditumbulkan dalam proses pendidikan.

Pertama, mazhab behaviorisme yang memandang manusia atas asumsi utama bahwa manusia bersifat netral sejak kelahirannya, tidak mempunyai kemampuan potensial apa-apa, kososng ibarat kertas putih. Menurut mazhab ini, lingkunganlah yang memberikan pengaruh besar dalam membentuk corak kepribadian seseorang. Jika pandangan ini dijadikan acuan, pendidikan secara ekstrim akan menjadikan anak didik dalam kondisi determinan. Proses pendidikan semacam ini akan melahirkan apa yang disebut Paulo Freire, sebagai pendidikan “gaya bank” dimana anak didik hanya disuapi dengan seperangkat informasi yang penguasaannya kemudian ditagih melalui ujian-ujian yang terutama mempersyaratkan hafalan (ranah kognitif paling rendah). Apabila diletakkan dalam kerangka kemanusiaan, praktik pendidikan ini bukan saja secara sepihak membelenggu anak didik tapi juga akan mematikan kesadaran dan kreatifitas anak. Hal ini karena fitrah ontologinya tidak diakui secara eksistensial.

Kedua, pandangan Lorens yang melihat bahwa manusia sejak kelahirannya sudah mempunyai dan membawa sifat ganas. Tugas utama pendidikan, menurut Lorens, adalah mencari obyek-obyek pengganti dan prosedur-prosedur yang tersublimasi dan bermanfaat dalam menghilangkan sifat ganas tersebut. Meskipun mengakui potensi manusia, pandangan ini bersifat negative-pesimistik karena jauh sebelumnya manusia diklaim mempunyai sifat jahat. Corak pendidikan yang dikembangkan dengan mengacu pada pandangan ini jelas negative. Perlakuan tidak adil terhadap anak didik,pendekatan dengan kekerasan, bahkan hukuman kasar akan menjadi abash untuk dan demi menghilangkan sifat ganas anak.

Dua pandangan di atas memperlihatkan bahwa kesalahpahaman dalam memandang hakikat ontologis manusia berakibat pada penyimpangan praktik pendidikan. Kesalahan dan kekeliruan ini akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan berupa proses dehumanisasi, keterpecahan personalitas, pengasingan anak dari diri dan lingkungannya, serta mematikan kesadaran anak dan bentuk-bentuk penindasan terselubung lainnya atas nama pendidikan.

Berbeda dengan pandangan di atas, ISLAM menawarkan konsep yang positif-optimistik tentang manusia. Pertama, al-Quran secara kategorikal mendudukkan manusia ke dalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai 'abdi Allah (hamba Allah) dan Khalifat Allah fi al-ardh (duta Allah di muka bumi). Pandangan kategorikal ini tidak mengisyaratkan pengertian yang bercorak dualisme-dikotomik. Dengan penyebutan kedua fungsi ini, al-Quran ingin menekankan muatan fungsional yang harus diemban oleh manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi.

Konsep 'Abdi Allah, lebih banyak mengacu pada tugas-tugas individual manuasia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian yang bersifat ritual kepada Allah (ibadah). Karena sifatnya yang individual, maka pelaksanaan fungsi manusia sebagai hamba Allah dirasa belum cukup. Manusia masih dituntut melakukan fungsi lain yang merupakan konsekwensi sebagai makhluk historis.

Fungsi ini adalah sebagai Khalifah Allah yang diberikan kepada manusia dan memberikan gambaran bahwa seolah-olah Allah mempercayakan kekuasaan-Nya kepada manusia untuk mengatur bumi ini. Sebuah tugas yang membuat makhluk lain enggan menerimanya karena khawatir tidak mampu melaksanakannya. Sebagai khalifah, manusia mmengemban tugas dan tanggungjawab yang besar yang pelaksanaannya menutut komitmen moral spiritual yang tinggi; memakmurkan bumi dan mengembangkan risalah serta menegakkan segala amal yang mengandung kemaslahatan, kebenaran, dan keadilan. Tugas dan tanggungjawab inilah yang disebut “amanat” yang diterima oleh manusia. Penerimaan manusia itu karena memiliki keistimewaan dan keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Maka keutamaan manusia yang kedua, setelah khalifah adalah sebagai pemegang amanat Allah. Penerimaan manusia atas amanat Allah,meniscayakan pemenuhan unsure etika yang sifatnya mensyaratkan untuk direalisasikan dengan kemerdekaan,kebebasan, dan tanggungjawab.

Kewajiban untuk bertindak dengan penuh tanggungjawab ini merupakan titik mula moralitas manusia dan membuatnya sebagai makhluk moral sebagai salah satu cirri eksistensialyang memperjelas kedudukan sentral manusia dalam realitas penciptaan. Dengan cirri tersebut, mausia bukan semata-mata obyek tetapi juga sebagai subyek yang berperan aktif dan kreatif dalam realitas penciptaan.

Menggunakan kerangka pandang tersebut, konsep khalifah menjadi relevan untuk pemberdayaan fungsi kemanusiaan manusia . Maka pendidikan dapat diartikan sebagai proses penyadaran akan fungsi-fungsi kemanusiaan manusia yakni sebagai abdi Allah (aspek teologis) dan Khalifah Allah (aspek kosmologi dan antropososiologis).